DESENTRALISASI OTONOMI
DAERAH (PAPUA) BERKAITAN DENGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Perkembangan dan
peningkatan pembangunan tidak terlepas dari tantangan yang harus di hadapi di
berbagai sektor. Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya alam saat memasuki awal abad 21. Tantangan tersebut
sebagian besar berasal dari perkembangan global sebagai paradigma baru yang
mempengaruhi tatanan ekonomi dan politik internasional. Sebagian lagi berasal
dari dalam negeri yang sedikit banyaknya juga timbul akibat pengaruh global.
Tantangan dari luar yang merupakan paradigma baru pengelolaan sumberdaya alam
adalah adanya kemauan bersama secara internasional untuk menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana telah disepakati pada
Pertemuan Puncak Bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992.
Keberlanjutan pembangunan di Indonesia
dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh terwujudnya demokratisasi dan
keadilan di Indonesia, khusunya di seluruh daerahnya. Dunia Internasional dan
Organisasi Internasional mendukung hal ini melalui upaya desentralisasi
(Otonomi Daerah). Otonomi daerah sangat diharapkan untuk mempercepat
pembangunan dan hasil-hasilnya bagi masyarakat setempat. Bank Dunia melaporkan
pada tahun 1999 bahwa lebih kurang 80 % negara-negara sedang berkembang telah
melaksanakan desentralisasi dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah
Indonesia.
Pelaksanaan desentralisasi yang didambakan
dan telah lama ditunggu-tunggu tersebut benar-benar terwujud dengan keluarnya UU
No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 yang
mengatur perimbangan keuangan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kedua UU
tersebut telah menyatakan dengan tegas bahwa desentralisasi berada pada level
kabupaten. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 dan pasal 10 UU No 22 tahun
1999, daerah mempunyai kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
militer, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya
dinyatakan pula bahwa kewenangan bidang lain ini antara lain adalah dalam aspek
pendayagunaan sumberdaya alam yang tersedia di berbagai wilayah melalui pengelolaan
yang bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan.
Tetapi adapula tantangan yang berasal dari dalam negara yang mempengaruhi
kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yaitu terjadinya krisis ekonomi yang
menyebabkan kebangkrutan perusahaan-perusahaan dan industri khususnya yang memanfatkan
sumberdaya alam sebagai bahan baku. Krisis ekonomi kemudian segera diikuiti
oleh krisis politik yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan orde baru yang
kemudian melahirkan orde reformasi. Orde reformasi yang membawa fajar
pembaharuan menghendaki tatanan kehidupan politik, sosial, ekonomi yang benar-benar
demokratis dan berkeadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam sejalan dengan
tuntutan global.
Papua merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang ikut mengalami desentralisasi (Otonomi Daerah). Desentralisasi
di Papua diharapkan dapat memperpendek jalur komunikasi antara masyarakat
dengan pemerintah. Dalam hal ini adalah agar masyarakat Papua lebih dekat ke
pihak birokrasi sehingga masyarakat lebih cepat mendapat pelayanan dan lebih
cepat menyampaikan aspirasinya kepada aparat pemerintah. Selanjutnya dengan
adanya desentralisasi maka kemampuan masyarakat Papua dan sumberdaya yang ada di
Papua dapat dimobilisasi dengan lebih baik. Dengan cara seperti ini maka
program seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, upaya rehabilitasi hutan dan
lahan, dan pembangunan pertanian dapat direalisasi lebih cepat dan lebih terarah.
Bertumpu pada kemampuan lokal dari masyarakat dan sumberdaya ini maka upaya menolong
diri sendiri akan lebih menonjol dalam mengatasi masalah lokal, tidak
tergantung kepada bantuan dari pusat dan dari luar. Namun kenyataan yang
kemudian muncul dan terjadi adalah berbeda. Pada awalnya
menjadi sebuah harapan baru dalam mengembangkan setiap potensi yang ada di Papua.
Otonomi daerah ini juga merupakan bentuk dari desentralisasi kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Papua untuk mengelola keuangan maupun
beragam sektor lainnya. Terkait dengan hal tersebut dalam Undang-undang
nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Desentralisasi sendiri
memberikan kebebasan seluas-luasnya serta bertanggungjawab kepada pemerintah daerah untuk mengelola
sumberdaya alamnya secara mandiri agar sumber daya alam ini dapat menjadi “ladang”
pekerjaan tetapi juga pendapatan bagi masyarakat asli daerah tersebut. Dalam kaitannya
dengan pengelolaan SDA, relasi antara negara dengan masyarakat sipil dalam hal
ini masyarakat Papua bermaksud agar kebijakan dan peraturan yang dibuat bersesuaian
dengan kepentingan mayoritas masyarakat dan menguatkan peranan kontrol
masyarakat atas pelaksanaan pengelolaan SDA. Dalam kaitannya dengan
desentralisasi, partisipasi masyarakat di daerah berfungsi untuk meminimalisasi
dampak lingkungan atas penerapan kebijakan otonomi daerah seperti AMDAL
(Analisa Dampak Lingkungan) pada setiap kegiatan pembangunan. Selain itu yang
juga penting adalah memberdayakan civil society untuk mengatasi
masalah lingkungan. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah
daerah mempunyai kewajiban untuk mendemokratisasikan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup di daerah. Dengan pentingnya relasi antara negara dan
masyarkat Papua dalam mengelola SDA maka seharusnya segala kegiatan yang
berkaitan dengan perubahan lingkungan hidup harus dikomunikasikan dengan
masyarakat. Ruang partisipasi masyarakat Papua
dibuka agar tuntutan mereka atas hak lingkungan yang sehat dapat
terpenuhi. Diluar masalah lingkungan, peran serta masyarakat sangat penting
dalam menjaga kearifan tradisional masyarakat Papua.
Namun kenyataan yang terjadi Papua masih
memiliki kendala yang besar dalam pengelolaan SDA. Hal yang berbeda terlihat di Papua ketika SDA
yang dikelola secara besar-besaran menjadi tidak berpengaruh dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Papua. Selain itu juga masyarakat tidak dilibatkan
dalam pengawasan AMDAL bahkan limbah akan meresahkan masyarakat dan menjadi
masalah bagi masyarakat. Kegagalan pengelolaan SDA disebabkan adanya campur
tangan pemerintah pusat dan corporat asing
dalam setiap pengelolaan SDA di Papua, padahal melalui desentralisasi otonomi
daerah itu menjadi kewenangan daerah. Hal ini semakin ironis melihat kenyataan
bawa campur tangan pemerintah tersebut seringkali hanya menguntungkan
pihak-phak corporat asing yang
menguras habis SDA di Papua. Adapun masyarakat asli Papua sama sekali tidak
diberikan peran dalam mengelola SDA selain sebagai buruh kasar. Akibat dari
keberpihakan pemerintah pusat terhadap perusahaan-perusahaan asing di Papua
maka pengelolaan SDA di Papua sama sekali tidak berpengaruh dalam mendorong
pembangunan di Papua, sebaliknya masyarakat Papua menjadi korban dari
imperialisme modern akibat dikurasnya SDA di Papua.
Salah satu bentuk penindasan terhadap
masyarakat Papua terjadi dalam kasus yang terkait dengan PT Freeport. Di mata
orang Papua, tambang raksasa milik perusahaan Amerika ini bukan hanya simbol
neo-liberalisme, atau imperialisme Amerika sebagai negara adidaya, tapi juga
simbol kolonialisme Indonesia. Atau lebih tepat, simbol persekongkolan antara
imperialisme bangsa Amerika dengan beberapa pejabat tinggi di Indonesia. Sebab
apa yang masyarakat Papua lihat dan rasakan adalah bahwa penggusuran suku
bangsa Amungme dan Mimika dari tanah dan perairan ulayat mereka, dilakukan oleh
aparat bersenjata Indonesia, untuk kepentingan mereka yang menjadi pemegang
saham PT Freeport Indonesia. Desentralisasi otonomi daerah harusnya mampu
menjawab dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dimana masyarakat
Papua harus mampu untuk menjadi pelaku utama dalam pengelolaan SDA. Jika
melakukan kerja sama dengan pihak asing maka harus ada kejelasan antara pihak
terkait dalam hal ini pemerintah daerah, masyarakat adat dan pihak asing.
dengan melakukan pertimbangan yang baik dan sesuai dengan UU yang berlaku. Agar
setiap permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik dan bukan saja
pemerintah yang diuntungkan tetapi terlebih khusus masyarakat Papua itu
sendiri.
No comments:
Post a Comment