KELAPA
HUTAN (Pandanus brossimus dan Pandanus
julianettii) SEBAGAI SUMBER PANGAN LOKAL MASYARAKAT TRADISIONAL
PEGUNUNGAN
TENGAH PROVINSI PAPUA
BAB I
PENDAHULUAN
Hutan pada hakekatnya mempunyai
karakteristik multi fungsi yang bersifat holistik dan jangka panjang. Oleh
sebab itu, keberadaan hutan senantiasa berkaitan erat dengan isu-isu strategis
yang terjadi pada saat ini antara lain perubahan iklim dan pemanasan global,
ketahanan pangan, energi, air, pertumbuhan penduduk dan kemiskinan, serta
daya dukung bagi pertumbuhan berkelanjutan. Salah satu bentuk aktualisasi
karakteristik multi fungsi hutan adalah perannya dalam menyokong kehidupan masyarakat.
Hutan dan masyarakat, khususnya masyarakat
tradisional memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam keberlangsungan
hidupnya. Keeratan yang terjalin tersebut nampak dalam bentuk pemanfaatan hasil
hutan baik hasil hutan kayu maupun non kayu (Hutan Bukan Kayu). Bentuk
pemanfaatan tersebut merupakan suatu pengetahuan yang tercipta sebagai bentuk
penyesuaian mereka terhadap faktor ekologis hutan dimana tempat mereka bermukim
dan karena mereka berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua
faktor tersebut telah menghasilkan pengetahuan yang lingkup penggunaanya hanya
terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal dengan pengetahuan lokal (local
knowledge).
Masyarakat Papua khususnya masyarakat tradisional yang berada di dalam dan
di sekitar kawasan hutan sudah hidup dan berinteraksi dengan hutan
sejak zaman nenek moyang. Hutan sudah menjadi “sumber pangan” untuk keberlangsungan
hidup masyarakat Papua dengan berbagai bentuk keanekaragaman hayati di
dalamnya. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati ini antara lain berupa
jenis-jenis endemik yang dimanfaatkan oleh masyarakat Papua khususnya masyarakat tradisional
untuk menjadi sumber pangan. Mengingat dengan adanya kekhawatiran
terhadap krisis pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim secara global,
mengakibatkan pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan ketahanan
pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal sebagai bahan
makanan dan sumber energi untuk mengantisipasi krisis pangan dan energi global.
Menurut Lekitoo et all (2012), Perbedaan cara pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan
jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam
zona hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik memiliki cara pemahaman yang
berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan hutan. Pengetahuan lokal pemanfaatan jenis
tumbuhan akan terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan
proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik.
Pada umumnya Masyarakat
Pegunungan Tengah hidup dan berinteraksi dengan hutan dan memanfaatkan kekayaan flora dan fauna
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kekayaan flora yang dimanfaatkan salah
satunya adalah flora endemik daerah pegunungan tengah yaitu kelapa hutan (Pandanus brossimus dan Pandanus
julianetii). Masyarakat memanfaatkan kelapa hutan untuk pemenuhan pangan
dan sebagai salah satu menu konsumsi yang istimewa dan wajib ada dalam setiap melaksanakan
berbagai upacara adat di daerah tersebut, antara lain upacara sebelum perang dan sesudah perang upacara pernikahan, upacara sebelum dan sesudah panen dan
berbagai upacara lainnya. Selain itu kelapa hutan bagi masyarakat pegunungan
tengah memiliki nilai yang cukup istimewa
jika dibandingkan dengan
nilai seekor babi yang merupakan binatang yang memiliki nilai yang berharga
oleh masyarakat setempat baik sebagai mas kawin, lambang kegembiraan/kedukaan
serta bahan konsumsi utama dalam
suatu
upacara adat bagi
masyarakat di
pegunungan tengah (Lekitoo, 2013).
Berdasarkan hal tersebut maka melalui
penulisan karya ilmiah ini diharapkan memberikan informasi tentang jenis tumbuhan lokal yang merupakan salah satu jenis endemik Papua yang telah
dimanfaatkan sebagai
sumber pangan masyarakat
serta nilai budaya dari pemanfaatan buah tersebut oleh masyarakat di Tanah
Papua, khususnya masyarakat pegunungan tengah dimana pemanfaatan jenis tersebut
tidak melupakan upaya konservasinya agar keberadaan jenis ini akan terus tersedia.
Metode yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode studi pustaka, dengan
menggunakan pustaka-pustaka yang relevan dengan judul karya ilmiah.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Hutan Papua terkenal dengan keanekaragaman
jenis yang tinggi baik flora maupun faunanya yang tersebar dari pantai, hutan
dataran rendah sampai dataran tinggi dan hutan pegunungan, jumlah flora yang
terdapat di Papua sekitar 20.000-25.000 jenis spesies (Conservation
International, 1997). Beberapa spesies diantaranya memiliki sifat yang khas dan
unik memungkinkan pemanfaatan oleh masyarakat pada daerah tempat hidupnya
tumbuhan tersebut.
Tanah Papua yang merupakan sebagian dari
Pulau New Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui dengan
baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang tertinggi di
dunia. Pada kawasan ini masih tersimpan banyak misteri terutama tentang
kekayaan jenis tumbuhan (flora), yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya
tertinggi pada kawasan flora malesiana (Petocz, 1987). Menurut Hope (1982),
yang dikutip oleh Petocz (1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun
formasi hutan hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan
family yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di dunia. Menurut
Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa tipe hutan Papua mengandung
banyak jenis flora yang dapat dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun
sampai saat ini kekayaan flora tersebut masih banyak yang belum diketahui
dengan pasti, belum dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan
penyebarannya. Demikian pula pemanfaatannya dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Hasil-hasil penelitian etnobotani yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti menunjukan terdapat 225 jenis tumbuhan hutan yang
diketahui dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 63 jenis diantaranya
berupa biji dan buah-buah hutan (Lekitoo, 2012). Salah satu
kelompok tumbuhan yang beberapa jenisnya telah dikenal dan dimanfaatkan adalah
Suku Pandan-pandanan (Famili Pandanaceae). Pandanaceae seluruhnya diperkirakan
sekitar 600 jenis, menyebar secara pantropical
dari Managaskar sampai pulau-pulau di Pasifik, dengan pusat keanekaragaman di
Malesia, terutama di Nugini (Prosea, 1992). Lokasi penyebarannya mulai dari tepi-tepi
pantai daerah dataran tinggi sampai di pegunungan. Menurut Yuliana dan Lekitoo
(2007) Tercatat terdapat tiga marga yang terdapat di Nugini, termasuk di Papua
(Papua dan Papua Barat) wilayah Indonesia, yaitu Pandanus, Freycinetia dan
Sararanga (marga endemik)
Pandanus
selalu tumbuh pada hutan primer dan hutan sekunder sebagai jenis pioner pada
tempat-tempat yang terbuka (Heyne, 1978). Pandanus merupakan tanaman serba guna
yang banyak dikenal dan dimanfaatkan masyarakat, dan dapat diolah sebagai bahan
anyaman, bahan makanan dan lain sebagainya (Powel, 1976). Pandanus termasuk suku Pandanaceae, Ordo Pandanales dan termasuk
dalam golongan tumbuhan berbiji tertutup (monokotiledon). Berbentuk pohon atau
perdu, bercabang lebar, kadang-kadang berbatang banyak, kerapkali dengan akar
tunjang sekitar pangkal batang; tinggi 3-7 meter. Daun terkumpul rapat, dalam 3
baris berbentuk spiral, duduk, dengan pangkal memeluk batang, berbentuk garis,
bertulang daun sejajar pada waktu rontok meninggalkan bekas berbentuk cincin.
Bunga berkelamin satu, kerap kali berumah-rumah tanpa hiasan bunga, tersusun
menjadi tongkol yang bercabang atau tidak, dengan daun pelindung berkembang
baik sekali (Van Steenis, 1988).
Menurut French (1995) terdapat tujuh (7) jenis dari famili Pandanaceae yang buahnya dapat di makan, yaitu :
1.
Pandanus brossimus Merr & Perry
2.
Pandanus julianettii Mart.
3.
Pandanus odoratissima L.f.
4.
Pandanus tectorius (Park.) Soland
5.
Pandanus englerianus Mart.
6.
Pandanus conoideus Lamk.
7.
Sararanga sinuosa Hemsley
BAB III
ANALISIS DAN SINTESIS
Di Tanah Papua pengertian dan penyebutan Kelapa hutan
oleh masyarakat dan orang awam sering kali membingungkan. Sebutan kelapa hutan pada umumnya bagi masyarakat lokal
dalam hal ini masyarakat tradisional adalah pemanfaatan buah
tumbuhan hutan oleh masyarakat yang mirip
atau sama dengan pemanfaatan buah kelapa pantai (Cocos nucifera). Secara umum masyarakat Pengunungan
Tengah mengenal kelapa hutan dengan sebutan Tuke.
Menurut Lekitoo et
all (2013), terdapat minimal ada 3 jenis atau spesies tumbuhan hutan yang
dikenal atau sering disebutkan oleh masyarakat tradisional di Tanah Papua
sebagai kelapa hutan. Dua jenis atau spesies berasal dari masyarakat
tradisional (suku-suku) yang hidup di daerah pegunungan tengah (Wamena, Habema,
Tolikara, Mulia dan lain-lain), yang sering disebut sebagai kelapa hutan adalah
Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii. Sedangkan satu
jenis atau spesies lainnya berasal dari masyarakat tradisional (suku-suku) yang
hidup di daerah dataran rendah pantai Utara Tanah Papua (Bonggo, Betaf, Tor Atas,
Tor Bawah, Sarmi, Mamberamo, Waropen, Yapen dan lain-lain), yang sering disebut
sebagai kelapa hutan adalah palem lontar irian (Borasus heyneana). Ketiga jenis tumbuhan tersebut adalah jenis endemik
Tanah Papua dan tidak terdapat di daerah lain baik di Indonesia maupun di
negara lain.
Habitat Pandanus
brossimus dan Pandanus julianettii adalah
daerah pegunungan dengan tinggi
mencapai 1000-3000 meter diatas permukaan laut. Sehingga tanaman ini digolongkan
kedalam jenis tumbuhan dataran tinggi. Jenis ini mampu beradaptasi dengan iklim
pegunungan yang dingin dengan kelerengan yang bervariasi dari datar,
bergelombang ringan sampai bergelombang berat. Merupakan jenis tumbuhan semi
toleran, sangat peka terhadap iklim mikro tertentu terutama suhu dan kelembaban.
Umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan solum yang tipis, sedang sampai dalam.
Dengan variasi habitat tanah, tanah
berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu, tetapi kelapa hutan yang tumbuh liar kadang-kadang dapat tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa
(tergenang), baik rawa temporer maupun rawa permanen (Lekitoo,
2013).
Kelapa
hutan (Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii) adalah jenis tumbuhan penghasil buah di daerah
Pegunungan Tengah yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat. Kelapa hutan baik Pandanus brossimus maupun Pandanus
julianetti juga memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut nampak baik dari karakter
morfologi batang, daun, hingga rasa buah yang berbeda. Pandanus brossimus merupakan marga pandanus yang memiliki ciri pandan yang tegak, batang umumnya berwarna terang atau
coklat muda keabu-abuan dengan bercak putih, susunan daun umumnya tegak, kulit
buah keras, rasanya sangat enak seperti kelapa atau rasanya manis, sedangkan
Pandanus
julianettii merupakan
marga pandanus yang memiliki ciri
bentuk pandan yang tegak, batang
umumnya berwarna coklat muda atau krem keabu-abuan,
susunan daun umumnya menjuntai, kulit buah lunak, rasanya agak hambar dengan
rasa mirip kelapa. Kedua jenis kelapa hutan ini masing-masing memiliki
variasi pada ukuran buah, bentuk buah, warna buah dan habitus, sehingga oleh masyarakat
Pegunungan Tengah variasi tersebut dianggap memiliki jenis yang banyak yaitu 12
jenis namun sesungguhnya hanya variasi saja.
Kelapa hutan (P. brossimus
dan P. julianettii) adalah jenis buah yang dikonsumsi (dimakan)
oleh masyarakat Pegunungan Tengah tetapi juga oleh
masyarakat yang umumnya telah lama berdomisili di daerah tersebut. Menurut
Mabel (2013) selain sebagai bahan makanan masyarakat memanfaatkan kelapa hutan
juga untuk bahan bangunan dan bahan anyaman. Masyarakat telah memanfaatkan buah
kelapa hutan tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat
pertama nenek moyang mereka mengenal kelapa hutan tersebut) hingga sampai saat
ini. Tidak ada bukti yang dapat menjelaskan dengan tepat
sejak kapan atau kapan pertama kali mengkonsumsi jenis buah kelapa hutan
tersebut. Namun secara
budaya buah kelapa hutan ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting
dalam perkembangan budaya suku-suku
di Pegunungan Tengah.
Manfaat penting yang harus dijadikan acuan
sehingga buah kelapa hutan ini layak untuk dijadikan bahan pangan lokal yang
baik adalah kandungan gizinya. Kandungan gizi dari kelapa hutan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi
Kelapa hutan dengan beberapa pangan lokal masyarakat
Pangan Lokal
|
Karbohidrat
(gr)
|
Protein
(gr)
|
Lemak
(gr)
|
Vit C
(mg)
|
Air
(gr)
|
P. brosimus
P. julianeti
P. Conoideus
Ubi Putih
Ubi Merah
Ubi Kuning
|
27,90
27,90
32,30
|
12,69
12,50
33
1,80
1,80
1,10
|
48,09
37,31
281
0,70
0,70
0,40
|
108,43
102,54
25,7
|
12,83
10,00
34,90
68,50
68,50
|
Sumber : (Lekitto et all., 2013; Made Budi - Fendy R. Paimin,
2005; Direktorat Gizi Depkes RI, 1981; Suismono, 1995)
Berdasarkan
data di atas menunjukan bahwa buah kelapa hutan memiliki kandungan gizi yang
cukup baik jika dibandingkan dengan beberapa jenis pangan lokal lainnya yang sering dikonsumsi.
Buah kelapa hutan (Pandanus brossimus dan Pandanus
julianettii)
memiliki nilai gizi yang baik
dari segi jumlah kandungan protein, lemak dan vit C. Dengan jumlah protein untuk Pandanus brossimus 4,64 kali jumlah protein dari markisa; 7,4 kali
jumlah lemak dari alpukat dan 1,39 kali jumlah vit C pada pepaya. Tetapi jumlah
air untuk buah kelapa hutan relatif sedikit jika dibandingan dengan buah yang
lainnya. Untuk kandungan gizi pada Pandanus
julianetti jumlah protein 4,5 kali jumlah protein dari markisa; 5,74
kali jumlah lemak dari alpukat; dan 1,3 kali jumlah vit C pada pepaya. Jumlah
airnya pun relatif kecil jika dibandingan dengan buah yang lainnya. Mengacu
dari hal tersebut maka bisa di jadikan sumber nutrisi dalam peanekaragaman
pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat lokal, khususnya sebagai sumber vit C.
Dari segi budaya buah kelapa hutan merupakan sajian yang
paling istimewa dalam suatu upacara adat bagi masyarakat Pegunungan Tengah
disamping buah merah (Pandanus conoideus)
dan daging babi (Sus crova). Dengan
adanya buah kelapa hutan dalam suatu upacara adat itu merupakan gengsi
tersendiri bagi penyelenggaraan pesta adat tersebut, hal ini sangat berkaitan
dengan sistem kepemimpinan tradisional di daerah pegunungan tengah dimana
dikenal dengan sebutan pria berwibawa. Seorang pemimpin dapat ditempati oleh
siapa saja yang mempunyai kemampuan yang dalam hal ini adalah kekayaan. Umumnya
upacara adat di daerah Pegunungan Tengah dilakukan oleh pria berwibawa atau
orang yang mau diangkat sebagai pria berwibawa. Seorang pria berwibawa akan
lebih diakui atau disanjung jika dalam upacara adat, makanan yang disajikan
salah satunya adalah kelapa hutan. Sehingga mau tidak mau dalam suatu upacara
adat kelapa hutan harus menjadi salah satu menu wajib yang disajikan. Sebagai
makanan istimewa dalam berbagai perayaan adat sudah tentu keberadaan buah ini
harus selalu tersedia. Jika kelapa hutan tidak ada atau simpanan kelapa hutan
pada penduduk setempat sudah habis, maka kelapa hutan tersebut akan dibeli pada
daerah lain di Pegunungan Tengah. Sejauh apapun daerah tersebut tetapi jika persediaan
kelapa hutannya ada maka daerah tersebut akan didatangi untuk selanjutnya
dilakukan proses tawar menawar
untuk memperoleh buah tersebut (Lekitoo et
all, 2013).
Menurut Mabel 2013, Pemanfaatan kelapa hutan
dapat dilakukan dengan dua (2) cara yaitu dengan pemanfatan langsung dan
pemanfaatan tidak langsung. Cara
langsung yaitu dengan memotong buah kelapa hutan menjadi dua bagian, biji buah
diambil dan kulit bijinya dilepas kemudian isinya yang akan diperoleh untuk
dikonsumsi, sedangkan pemanfaatan dengan cara tidak langsung yaitu buahnya
dapat dibakar dan diasar atau dikeringkan. Pengawetan dengan cara diasar dapat
membuat sumber pangan ini bertahan yaitu 4-6 bulan bahkan paling lama 3-4
tahun.
Kelapa hutan (P.
brossimus dan P. julianettii)
merupakan jenis tumbuhan pandan indegenous atau tumbuhan asli (native species) yang bersifat endemik
karena penyebarannya sangat terbatas di Pulau Papua khususnya di daerah
pegunungan tengah, baik wilayah teritorial Republik Indonesia (RI) maupun wilayah
teritorial Papua New Guinea (PNG). Kedua jenis kelapa hutan tersebut telah
dinyatakan sebagai jenis tumbuhan langka oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) sejak Tahun 2000.
Dengan
melihat pentingnya buah ini maka sudah tentu keberadaan dan kelestarian buah
ini harus terus dipertahankan. Saat
ini masyarakat telah melakukan pembudidayaan dengan cara menanam kelapa hutan
dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di
bawah pohon induknya, kemudian dirawat dan ditanam di areal kebun mereka. Kegiatan pembibitan
dan penanaman kelapa hutan dapat dilakukan dengan cara vegetatif dan generatif.
Secara umum masyarakat lebih mengenal sistem pembibitan dengan benih terutama
untuk semai yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon induk. Hal ini
di sebabkan karena pembibitan dengan biji
(benih) atau anakan yang terdapat di bawah pohon induk dianggap lebih
baik dan sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Teknik pembibitan kelapa hutan
dengan biji (benih) yang dilakukan oleh masyarakat umumnya sama yaitu menabur
benih pada daerah berlumpur atau daerah yang basah kemudian setelah satu bulan
dicek, benih yang telah tumbuh dapat dipisahkan ke dalam wadah berbentuk koker
yang terbuat dari daun-daunan. Anakan
kelapa hutan tersebut kemudian dibawah ke kebun, setelah berumur tiga bulan
atau setinggi 50 cm dan dianggap sudah bisa ditanam, anakan kelapa hutan
tersebut kemudian ditanam pada lokasi yang telah ditentukan.
Meskipun secara tradisional masyarakat di daerah tersebut
(Lani, Yali, Dani, Nduga dan lain-lain) telah melakukan konservasi tradisional namun sangat
perlu untuk dibangun kebun koleksi sebagai sumber benih untuk menjamin
keberlanjutan produksi benih untuk keperluan pembibitan jenis tersebut. Hal ini
untuk mencegah terjadinya kepunahan mengingat bahwa kedua jenis kelapa hutan
tersebut membutuhkan habitat yang spesifik untuk dapat tumbuh secara baik.
BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Terdapat ada 2 jenis atau spesies tumbuhan hutan yang dimanfaatkan
sebagai sumber pangan masyarakat
Pegunungan Tengah yaitu Pandanus brossimus dan Pandanus
julianettii.
2. Habitat Pandanus
brossimus dan Pandanus julianettii daerah
dataran tinggi dengan kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang
ringan sampai berat. Merupakan jenis tumbuhan semi toleran, sangat peka
terhadap iklim mikro tertentu terutama suhu dan kelembaban. tumbuh pada habitat
tanah dengan solum yang tipis, sedang sampai dalam. Dengan variasi habitat
tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu, tetapi kelapa hutan yang tumbuh liar kadang-kadang dapat tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa.
3. Buah
kelapa hutann (Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii)
memiliki kandungan gizi yang cukup baik jika dibandingan dengan sumber pangan
lokal lainnya dalam upaya peanekaragaman pangan lokal, selain itu dapat
dijadikan acuan sebagai sumber Vit C yang baik bagi masyarakat khususnya daerah
Pegunungan Tengah.
Rekomendasi
1. Kelapa hutan sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah
Papua khususnya daerah Pegunungan tengah, dan daerah lainnya yang
mempunyai karakteristik geografis yang memungkinkan untuk kelapa hutan dapat
bertumbuh mengingat gizi dari
kedua jenis ini sangat baik untuk dijadikan acuan sebagai sumber
pangan lokal, dan juga disisi lain mempunyai nilai yang istimewa dalam budaya
masyarakat khususnya
daerah Pegunungan Tengah.
2.
Meskipun
telah dilakukan pembudidayaan ataupun usaha konservasi secara tradisional namun
upaya pengembangan jenis tersebut sangat perlu untuk dikembangkan misalnya
dengan dibangun kebun koleksi, kebun benih ataupun kebun masyarakat guna
sebagai sumber benih dan juga untuk mencegah terjadinya kepunahan dari kedua
jenis kelapa hutan tersebut.
3.
Inovasi dan keatifitas dari masyarakat
perlu di kembangkan, sehingga kedepannya diharapkan buah ini dapat di jadikan
produk lainnya seperti, dodol, selai, minyak atau hal-hal yang lain. Mengingat
daya tahan dari kelapa hutan ini cukup lama, artinya keunggulan dari sumber
pangan ini apabila dikembangakan adalah produk makanan tanpa bahan pengawet.
DAFTAR
PUSTAKA
Conservation International. 1997. The Irian Jaya Biodiversity Conservation
priority-seting Workshop Conservation International. Washington DC.
French, B.R. 1995. Food Plants Of Papua New Guinea. Australian Pacific Science Foundation.
Tasmania.
Heyne K. 1987. Pandanaceae. Tumbuhan
Berguna Indonesia I. Jakarta: Litbang. Departemen Kehutanan. Hal 53, 69, 88.
Lekitoo.K., E. Batorinding, P. Dimomonmau,
W. Rumbiak, C.D. Heatubun, H. Lekitoo. 2012. Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil
Buah Sebagai Sumber
Bahan Pangan Di
Tanah Papua.
Redeversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian I. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Hal 1,3,6,12.
Lekitoo.K., E. Batorinding, P. Dimomonmau,
W. Rumbiak, Harisetijono, Ondi Hendrison, C.D. Heatubun, H. Lekitoo. 2013. Pemanfaatan Tujuh Jenis
Tumbuhan Hutan Penghasil Buah
Sebagai Sumber Bahan
Pangan Di
Tanah Papua.
Redeversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian II. Balai Penelitian Kehutanan.
Manokwari. Hal 101-106, 137, 140, 142.
Mabel Ade. 2013. Pemanfaatan Jenis-Jenis Kelapa Hutan
(Pandanus spp.) oleh Suku Yali
Kampung Uwambo Distrik Abenaho Kabupaten Yalimo. Fakultas Kehutanan.
Universitas Negeri Papua. Skripsi. Tidak di terbitkan. Hal 14,19,33,36,43,44.
Petocz,
R. 1987. Conservasi Alam Dan Pembangunan
di Irian Jaya cetakan Ke- I. Press Jakarta. Halaman 6, 8, 68, 129, 170.
Powell, J.M. 1976. Etnobotany in K. Paijmans (eds), New Guinea Vegetation. Elsever
Scientific Publishing Company, Amsterdam-New York. Hal 106-183.
Prosea. 1992. Plant Resources of South-East Asia 2. Edible fruits and nuts.
Prosea Foundation, Bogor Indonesia and Pudoc-DLO, Wageningen, the Netherlands.
Bogor. Hal 40.
Yuliana.S., K. Lekitoo. 2007. Jenis-jenis Pandanus (Famili Pandanaceae) di
Pulau Gag, Raja Ampat dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Lokal. Menata
riset dalam menunjang ekosistem Australasia berkelanjutan. Prosiding Ekspose
Sintesa Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari. Manokwari. Hal 19, 20.
Van Steenis. 1988. Flora. NV. Sabdodadi,
PT Pradnya Paramita Jakarta. Jakarta. Hal 104.
No comments:
Post a Comment