Friday, January 8, 2016

Pangan Lokal (Kelapa Hutan)



KELAPA HUTAN  (Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii) SEBAGAI SUMBER PANGAN LOKAL MASYARAKAT TRADISIONAL
PEGUNUNGAN TENGAH PROVINSI PAPUA

BAB I
PENDAHULUAN

Hutan pada hakekatnya mempunyai karakteristik multi fungsi yang bersifat holistik dan jangka panjang. Oleh sebab itu, keberadaan hutan senantiasa berkaitan erat dengan isu-isu strategis yang terjadi pada saat ini antara lain perubahan iklim dan pemanasan global, ketahanan pangan, energi, air,  pertumbuhan penduduk dan kemiskinan, serta daya dukung bagi pertumbuhan berkelanjutan. Salah satu bentuk aktualisasi karakteristik multi fungsi hutan adalah perannya dalam menyokong kehidupan masyarakat.
Hutan dan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam keberlangsungan hidupnya. Keeratan yang terjalin tersebut nampak dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan baik hasil hutan kayu maupun non kayu (Hutan Bukan Kayu). Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu pengetahuan yang tercipta sebagai bentuk penyesuaian mereka terhadap faktor ekologis hutan dimana tempat mereka bermukim dan karena mereka berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua faktor tersebut telah menghasilkan pengetahuan yang lingkup penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal dengan pengetahuan lokal (local knowledge).
Masyarakat Papua khususnya masyarakat tradisional yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan sudah hidup dan berinteraksi dengan hutan sejak zaman nenek moyang. Hutan sudah menjadi “sumber pangan” untuk keberlangsungan hidup masyarakat Papua dengan berbagai bentuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati ini antara lain berupa jenis-jenis endemik yang dimanfaatkan oleh masyarakat Papua khususnya masyarakat tradisional untuk menjadi sumber pangan. Mengingat dengan adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk mengantisipasi krisis pangan dan energi global.
Menurut Lekitoo et all (2012), Perbedaan cara pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik memiliki cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan hutan. Pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik.
Pada umumnya Masyarakat Pegunungan Tengah hidup dan berinteraksi dengan hutan dan memanfaatkan kekayaan flora dan fauna untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kekayaan flora yang dimanfaatkan salah satunya adalah flora endemik daerah pegunungan tengah yaitu kelapa hutan (Pandanus brossimus dan Pandanus julianetii). Masyarakat memanfaatkan kelapa hutan untuk pemenuhan pangan dan sebagai salah satu menu konsumsi yang istimewa dan wajib ada dalam setiap melaksanakan berbagai upacara adat di daerah tersebut, antara lain upacara sebelum perang dan sesudah perang upacara pernikahan, upacara sebelum dan sesudah panen dan berbagai upacara lainnya. Selain itu kelapa hutan bagi masyarakat pegunungan tengah memiliki nilai yang cukup istimewa jika dibandingkan dengan nilai seekor babi yang merupakan binatang yang memiliki nilai yang berharga oleh masyarakat setempat baik sebagai mas kawin, lambang kegembiraan/kedukaan serta bahan konsumsi utama dalam suatu upacara adat bagi masyarakat di pegunungan tengah (Lekitoo, 2013).
Berdasarkan hal tersebut maka melalui penulisan karya ilmiah ini diharapkan memberikan informasi tentang jenis tumbuhan lokal yang merupakan salah satu jenis endemik Papua yang telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan masyarakat serta nilai budaya dari pemanfaatan buah tersebut oleh masyarakat di Tanah Papua, khususnya masyarakat pegunungan tengah dimana pemanfaatan jenis tersebut tidak melupakan upaya konservasinya agar keberadaan jenis ini akan terus tersedia.  
Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode studi pustaka, dengan menggunakan pustaka-pustaka yang relevan dengan judul karya ilmiah.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
Hutan Papua terkenal dengan keanekaragaman jenis yang tinggi baik flora maupun faunanya yang tersebar dari pantai, hutan dataran rendah sampai dataran tinggi dan hutan pegunungan, jumlah flora yang terdapat di Papua sekitar 20.000-25.000 jenis spesies (Conservation International, 1997). Beberapa spesies diantaranya memiliki sifat yang khas dan unik memungkinkan pemanfaatan oleh masyarakat pada daerah tempat hidupnya tumbuhan tersebut.
Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia. Pada kawasan ini masih tersimpan banyak misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora), yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan flora malesiana (Petocz, 1987). Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz (1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan family yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut masih banyak yang belum diketahui dengan pasti, belum dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya. Demikian pula pemanfaatannya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hasil-hasil penelitian etnobotani yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukan terdapat 225 jenis tumbuhan hutan yang diketahui dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan (Lekitoo, 2012). Salah satu kelompok tumbuhan yang beberapa jenisnya telah dikenal dan dimanfaatkan adalah Suku Pandan-pandanan (Famili Pandanaceae). Pandanaceae seluruhnya diperkirakan sekitar 600 jenis, menyebar secara pantropical dari Managaskar sampai pulau-pulau di Pasifik, dengan pusat keanekaragaman di Malesia, terutama di Nugini (Prosea, 1992). Lokasi penyebarannya mulai dari tepi-tepi pantai daerah dataran tinggi sampai di pegunungan. Menurut Yuliana dan Lekitoo (2007) Tercatat terdapat tiga marga yang terdapat di Nugini, termasuk di Papua (Papua dan Papua Barat) wilayah Indonesia, yaitu Pandanus, Freycinetia dan Sararanga (marga endemik)  
Pandanus selalu tumbuh pada hutan primer dan hutan sekunder sebagai jenis pioner pada tempat-tempat yang terbuka (Heyne, 1978). Pandanus merupakan tanaman serba guna yang banyak dikenal dan dimanfaatkan masyarakat, dan dapat diolah sebagai bahan anyaman, bahan makanan dan lain sebagainya (Powel, 1976). Pandanus termasuk suku Pandanaceae, Ordo Pandanales dan termasuk dalam golongan tumbuhan berbiji tertutup (monokotiledon). Berbentuk pohon atau perdu, bercabang lebar, kadang-kadang berbatang banyak, kerapkali dengan akar tunjang sekitar pangkal batang; tinggi 3-7 meter. Daun terkumpul rapat, dalam 3 baris berbentuk spiral, duduk, dengan pangkal memeluk batang, berbentuk garis, bertulang daun sejajar pada waktu rontok meninggalkan bekas berbentuk cincin. Bunga berkelamin satu, kerap kali berumah-rumah tanpa hiasan bunga, tersusun menjadi tongkol yang bercabang atau tidak, dengan daun pelindung berkembang baik sekali (Van Steenis, 1988).
Menurut French (1995) terdapat tujuh (7) jenis dari famili Pandanaceae yang buahnya dapat di makan, yaitu :
1.      Pandanus brossimus Merr & Perry
2.      Pandanus julianettii Mart.
3.      Pandanus odoratissima L.f.
4.      Pandanus tectorius (Park.) Soland
5.      Pandanus englerianus Mart.
6.      Pandanus conoideus Lamk.
7.      Sararanga sinuosa Hemsley

BAB III
ANALISIS DAN SINTESIS

Di Tanah Papua pengertian dan penyebutan Kelapa hutan oleh masyarakat dan orang awam sering kali membingungkan. Sebutan kelapa hutan pada umumnya bagi masyarakat lokal dalam hal ini masyarakat tradisional adalah pemanfaatan buah tumbuhan hutan oleh masyarakat yang mirip atau sama dengan pemanfaatan buah kelapa pantai (Cocos nucifera). Secara umum masyarakat Pengunungan Tengah mengenal kelapa hutan dengan sebutan Tuke.
Menurut Lekitoo et all (2013), terdapat minimal ada 3 jenis atau spesies tumbuhan hutan yang dikenal atau sering disebutkan oleh masyarakat tradisional di Tanah Papua sebagai kelapa hutan. Dua jenis atau spesies berasal dari masyarakat tradisional (suku-suku) yang hidup di daerah pegunungan tengah (Wamena, Habema, Tolikara, Mulia dan lain-lain), yang sering disebut sebagai kelapa hutan adalah Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii. Sedangkan satu jenis atau spesies lainnya berasal dari masyarakat tradisional (suku-suku) yang hidup di daerah dataran rendah pantai Utara Tanah Papua (Bonggo, Betaf, Tor Atas, Tor Bawah, Sarmi, Mamberamo, Waropen, Yapen dan lain-lain), yang sering disebut sebagai kelapa hutan adalah palem lontar irian (Borasus heyneana). Ketiga jenis tumbuhan tersebut adalah jenis endemik Tanah Papua dan tidak terdapat di daerah lain baik di Indonesia maupun di negara lain.
Habitat Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii adalah daerah pegunungan dengan tinggi mencapai 1000-3000 meter diatas permukaan laut. Sehingga tanaman ini digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran tinggi. Jenis ini mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan sampai bergelombang berat. Merupakan jenis tumbuhan semi toleran, sangat peka terhadap iklim mikro tertentu terutama suhu dan kelembaban. Umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan solum yang tipis, sedang sampai dalam. Dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu, tetapi kelapa hutan yang tumbuh liar kadang-kadang dapat tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer maupun rawa permanen (Lekitoo, 2013).
Kelapa hutan (Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii) adalah jenis tumbuhan penghasil buah di daerah Pegunungan Tengah yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat. Kelapa hutan baik Pandanus brossimus maupun Pandanus julianetti juga memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut nampak baik dari karakter morfologi batang, daun, hingga rasa buah yang berbeda. Pandanus brossimus merupakan marga pandanus yang memiliki ciri pandan yang tegak, batang umumnya berwarna terang atau coklat muda keabu-abuan dengan bercak putih, susunan daun umumnya tegak, kulit buah keras, rasanya sangat enak seperti kelapa atau rasanya manis, sedangkan Pandanus julianettii merupakan marga pandanus yang memiliki ciri bentuk pandan yang tegak, batang umumnya berwarna coklat muda atau krem keabu-abuan, susunan daun umumnya menjuntai, kulit buah lunak, rasanya agak hambar dengan rasa mirip kelapa. Kedua jenis kelapa hutan ini masing-masing memiliki variasi pada ukuran buah, bentuk buah, warna buah dan habitus, sehingga oleh masyarakat Pegunungan Tengah variasi tersebut dianggap memiliki jenis yang banyak yaitu 12 jenis namun sesungguhnya hanya variasi saja.
Kelapa hutan (P. brossimus dan P. julianettii) adalah jenis buah yang dikonsumsi (dimakan) oleh masyarakat Pegunungan Tengah tetapi juga oleh masyarakat yang umumnya telah lama berdomisili di daerah tersebut. Menurut Mabel (2013) selain sebagai bahan makanan masyarakat memanfaatkan kelapa hutan juga untuk bahan bangunan dan bahan anyaman. Masyarakat telah memanfaatkan buah kelapa hutan tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama nenek moyang mereka mengenal kelapa hutan tersebut) hingga sampai saat ini.  Tidak ada bukti yang dapat menjelaskan dengan tepat sejak kapan atau kapan pertama kali mengkonsumsi jenis buah kelapa hutan tersebut. Namun secara budaya buah kelapa hutan ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya suku-suku di Pegunungan Tengah.
Manfaat penting yang harus dijadikan acuan sehingga buah kelapa hutan ini layak untuk dijadikan bahan pangan lokal yang baik adalah kandungan gizinya. Kandungan gizi dari kelapa hutan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi Kelapa hutan dengan beberapa pangan lokal masyarakat
Pangan Lokal
Karbohidrat
(gr)
Protein
(gr)
Lemak
(gr)
Vit C
(mg)
Air
(gr)
P. brosimus
P. julianeti
P. Conoideus
Ubi Putih
Ubi Merah
Ubi Kuning



27,90
27,90
32,30
12,69
12,50
33
1,80
1,80
1,10
48,09
37,31
281
 0,70
0,70
0,40
108,43
102,54
25,7

12,83
10,00
34,90
68,50
68,50
Sumber : (Lekitto et all., 2013; Made Budi - Fendy R. Paimin, 2005; Direktorat Gizi Depkes RI, 1981; Suismono, 1995)

Berdasarkan data di atas menunjukan bahwa buah kelapa hutan memiliki kandungan gizi yang cukup baik jika dibandingkan dengan beberapa jenis pangan lokal lainnya yang sering dikonsumsi. Buah kelapa hutan (Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii) memiliki nilai gizi yang baik dari segi jumlah kandungan protein, lemak dan vit C. Dengan jumlah protein untuk Pandanus brossimus 4,64 kali jumlah protein dari markisa; 7,4 kali jumlah lemak dari alpukat dan 1,39 kali jumlah vit C pada pepaya. Tetapi jumlah air untuk buah kelapa hutan relatif sedikit jika dibandingan dengan buah yang lainnya. Untuk kandungan gizi pada Pandanus julianetti jumlah protein  4,5 kali jumlah protein dari markisa; 5,74 kali jumlah lemak dari alpukat; dan 1,3 kali jumlah vit C pada pepaya. Jumlah airnya pun relatif kecil jika dibandingan dengan buah yang lainnya. Mengacu dari hal tersebut maka bisa di jadikan sumber nutrisi dalam peanekaragaman pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat lokal, khususnya sebagai sumber vit C.
Dari segi budaya buah kelapa hutan merupakan sajian yang paling istimewa dalam suatu upacara adat bagi masyarakat Pegunungan Tengah disamping buah merah (Pandanus conoideus) dan daging babi (Sus crova). Dengan adanya buah kelapa hutan dalam suatu upacara adat itu merupakan gengsi tersendiri bagi penyelenggaraan pesta adat tersebut, hal ini sangat berkaitan dengan sistem kepemimpinan tradisional di daerah pegunungan tengah dimana dikenal dengan sebutan pria berwibawa. Seorang pemimpin dapat ditempati oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan yang dalam hal ini adalah kekayaan. Umumnya upacara adat di daerah Pegunungan Tengah dilakukan oleh pria berwibawa atau orang yang mau diangkat sebagai pria berwibawa. Seorang pria berwibawa akan lebih diakui atau disanjung jika dalam upacara adat, makanan yang disajikan salah satunya adalah kelapa hutan. Sehingga mau tidak mau dalam suatu upacara adat kelapa hutan harus menjadi salah satu menu wajib yang disajikan. Sebagai makanan istimewa dalam berbagai perayaan adat sudah tentu keberadaan buah ini harus selalu tersedia. Jika kelapa hutan tidak ada atau simpanan kelapa hutan pada penduduk setempat sudah habis, maka kelapa hutan tersebut akan dibeli pada daerah lain di Pegunungan Tengah. Sejauh apapun daerah tersebut tetapi jika persediaan kelapa hutannya ada maka daerah tersebut akan didatangi untuk selanjutnya dilakukan proses tawar menawar untuk memperoleh buah tersebut (Lekitoo et all, 2013).
Menurut Mabel 2013, Pemanfaatan kelapa hutan dapat dilakukan dengan dua (2) cara yaitu dengan pemanfatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung. Cara langsung yaitu dengan memotong buah kelapa hutan menjadi dua bagian, biji buah diambil dan kulit bijinya dilepas kemudian isinya yang akan diperoleh untuk dikonsumsi, sedangkan pemanfaatan dengan cara tidak langsung yaitu buahnya dapat dibakar dan diasar atau dikeringkan. Pengawetan dengan cara diasar dapat membuat sumber pangan ini bertahan yaitu 4-6 bulan bahkan paling lama 3-4 tahun.
Kelapa hutan (P. brossimus dan P. julianettii) merupakan jenis tumbuhan pandan indegenous atau tumbuhan asli (native species) yang bersifat endemik karena penyebarannya sangat terbatas di Pulau Papua khususnya di daerah pegunungan tengah, baik wilayah teritorial Republik Indonesia (RI) maupun wilayah teritorial Papua New Guinea (PNG). Kedua jenis kelapa hutan tersebut telah dinyatakan sebagai jenis tumbuhan langka oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak Tahun 2000.
Dengan melihat pentingnya buah ini maka sudah tentu keberadaan dan kelestarian buah ini harus terus dipertahankan. Saat ini masyarakat telah melakukan pembudidayaan dengan cara menanam kelapa hutan dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di bawah pohon induknya, kemudian dirawat dan ditanam di areal kebun mereka. Kegiatan pembibitan dan penanaman kelapa hutan dapat dilakukan dengan cara vegetatif dan generatif. Secara umum masyarakat lebih mengenal sistem pembibitan dengan benih terutama untuk semai yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon induk. Hal ini di sebabkan karena pembibitan dengan biji  (benih) atau anakan yang terdapat di bawah pohon induk dianggap lebih baik dan sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Teknik pembibitan kelapa hutan dengan biji (benih) yang dilakukan oleh masyarakat umumnya sama yaitu menabur benih pada daerah berlumpur atau daerah yang basah kemudian setelah satu bulan dicek, benih yang telah tumbuh dapat dipisahkan ke dalam wadah berbentuk koker yang terbuat dari daun-daunan.  Anakan kelapa hutan tersebut kemudian dibawah ke kebun, setelah berumur tiga bulan atau setinggi 50 cm dan dianggap sudah bisa ditanam, anakan kelapa hutan tersebut kemudian ditanam pada lokasi yang telah ditentukan.
Meskipun secara tradisional masyarakat di daerah tersebut (Lani, Yali, Dani, Nduga dan lain-lain) telah melakukan konservasi tradisional namun sangat perlu untuk dibangun kebun koleksi sebagai sumber benih untuk menjamin keberlanjutan produksi benih untuk keperluan pembibitan jenis tersebut. Hal ini untuk mencegah terjadinya kepunahan mengingat bahwa kedua jenis kelapa hutan tersebut membutuhkan habitat yang spesifik untuk dapat tumbuh secara baik.

BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Simpulan
1.    Terdapat ada 2 jenis atau spesies tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan masyarakat Pegunungan Tengah yaitu Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii.
2.    Habitat Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii daerah dataran tinggi dengan kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan sampai berat. Merupakan jenis tumbuhan semi toleran, sangat peka terhadap iklim mikro tertentu terutama suhu dan kelembaban. tumbuh pada habitat tanah dengan solum yang tipis, sedang sampai dalam. Dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu, tetapi kelapa hutan yang tumbuh liar kadang-kadang dapat tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa.
3.    Buah kelapa hutann (Pandanus brossimus dan Pandanus julianettii) memiliki kandungan gizi yang cukup baik jika dibandingan dengan sumber pangan lokal lainnya dalam upaya peanekaragaman pangan lokal, selain itu dapat dijadikan acuan sebagai sumber Vit C yang baik bagi masyarakat khususnya daerah Pegunungan Tengah.

Rekomendasi
1.      Kelapa hutan sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua khususnya daerah Pegunungan tengah, dan daerah lainnya yang mempunyai karakteristik geografis yang memungkinkan untuk kelapa hutan dapat bertumbuh mengingat gizi dari kedua jenis ini sangat baik untuk dijadikan acuan sebagai sumber pangan lokal, dan juga disisi lain mempunyai nilai yang istimewa dalam budaya masyarakat  khususnya daerah Pegunungan Tengah.
2.      Meskipun telah dilakukan pembudidayaan ataupun usaha konservasi secara tradisional namun upaya pengembangan jenis tersebut sangat perlu untuk dikembangkan misalnya dengan dibangun kebun koleksi, kebun benih ataupun kebun masyarakat guna sebagai sumber benih dan juga untuk mencegah terjadinya kepunahan dari kedua jenis kelapa hutan tersebut.
3.      Inovasi dan keatifitas dari masyarakat perlu di kembangkan, sehingga kedepannya diharapkan buah ini dapat di jadikan produk lainnya seperti, dodol, selai, minyak atau hal-hal yang lain. Mengingat daya tahan dari kelapa hutan ini cukup lama, artinya keunggulan dari sumber pangan ini apabila dikembangakan adalah produk makanan tanpa bahan pengawet.
 
DAFTAR PUSTAKA
Conservation International. 1997. The Irian Jaya Biodiversity Conservation priority-seting Workshop Conservation International. Washington DC.
French, B.R. 1995. Food Plants Of Papua New Guinea. Australian Pacific Science Foundation. Tasmania. 
Heyne K. 1987. Pandanaceae. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jakarta: Litbang. Departemen Kehutanan. Hal 53, 69, 88. 
Lekitoo.K., E. Batorinding, P. Dimomonmau, W. Rumbiak, C.D. Heatubun, H. Lekitoo. 2012. Pemanfaatan  Enam  Jenis Tumbuhan   Hutan Penghasil  Buah  Sebagai  Sumber  Bahan  Pangan Di Tanah Papua. Redeversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian I. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Hal 1,3,6,12. 
Lekitoo.K., E. Batorinding, P. Dimomonmau, W. Rumbiak, Harisetijono, Ondi Hendrison, C.D. Heatubun, H. Lekitoo. 2013. Pemanfaatan  Tujuh  Jenis Tumbuhan   Hutan Penghasil  Buah  Sebagai  Sumber  Bahan  Pangan Di Tanah Papua. Redeversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian II. Balai Penelitian Kehutanan. Manokwari. Hal 101-106, 137, 140, 142. 
Mabel Ade. 2013. Pemanfaatan Jenis-Jenis Kelapa Hutan (Pandanus spp.) oleh Suku Yali Kampung Uwambo Distrik Abenaho Kabupaten Yalimo. Fakultas Kehutanan. Universitas Negeri Papua. Skripsi. Tidak di terbitkan. Hal 14,19,33,36,43,44. 
Petocz, R. 1987. Conservasi Alam Dan Pembangunan di Irian Jaya cetakan Ke- I. Press Jakarta. Halaman  6, 8, 68, 129, 170. 
Powell, J.M. 1976. Etnobotany in K. Paijmans (eds), New Guinea Vegetation. Elsever Scientific Publishing Company, Amsterdam-New York. Hal  106-183. 
Prosea. 1992. Plant Resources of South-East Asia 2. Edible fruits and nuts. Prosea Foundation, Bogor Indonesia and Pudoc-DLO, Wageningen, the Netherlands. Bogor. Hal 40. 
Yuliana.S., K. Lekitoo. 2007. Jenis-jenis Pandanus (Famili Pandanaceae) di Pulau Gag, Raja Ampat dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Lokal. Menata riset dalam menunjang ekosistem Australasia berkelanjutan. Prosiding Ekspose Sintesa Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari. Manokwari. Hal 19, 20.
Van Steenis. 1988. Flora. NV. Sabdodadi, PT Pradnya Paramita Jakarta. Jakarta. Hal 104.
 
 
 

No comments:

Post a Comment