Sunday, September 1, 2013

Desentralisasi Otonomi Daerah (Papua) Berkaitan Dengan Pengelolaan SDA



DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH (PAPUA) BERKAITAN DENGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
            Perkembangan dan peningkatan pembangunan tidak terlepas dari tantangan yang harus di hadapi di berbagai sektor. Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam saat memasuki awal abad 21. Tantangan tersebut sebagian besar berasal dari perkembangan global sebagai paradigma baru yang mempengaruhi tatanan ekonomi dan politik internasional. Sebagian lagi berasal dari dalam negeri yang sedikit banyaknya juga timbul akibat pengaruh global. Tantangan dari luar yang merupakan paradigma baru pengelolaan sumberdaya alam adalah adanya kemauan bersama secara internasional untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana telah disepakati pada Pertemuan Puncak Bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992.
Keberlanjutan pembangunan di Indonesia dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh terwujudnya demokratisasi dan keadilan di Indonesia, khusunya di seluruh daerahnya. Dunia Internasional dan Organisasi Internasional mendukung hal ini melalui upaya desentralisasi (Otonomi Daerah). Otonomi daerah sangat diharapkan untuk mempercepat pembangunan dan hasil-hasilnya bagi masyarakat setempat. Bank Dunia melaporkan pada tahun 1999 bahwa lebih kurang 80 % negara-negara sedang berkembang telah melaksanakan desentralisasi dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah Indonesia.
Pelaksanaan desentralisasi yang didambakan dan telah lama ditunggu-tunggu tersebut benar-benar terwujud dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 yang mengatur perimbangan keuangan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kedua UU tersebut telah menyatakan dengan tegas bahwa desentralisasi berada pada level kabupaten. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 dan pasal 10 UU No 22 tahun 1999, daerah mempunyai kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, militer, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kewenangan bidang lain ini antara lain adalah dalam aspek pendayagunaan sumberdaya alam yang tersedia di berbagai wilayah melalui pengelolaan yang bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Tetapi adapula tantangan yang berasal dari dalam negara yang mempengaruhi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yaitu terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan-perusahaan dan industri khususnya yang memanfatkan sumberdaya alam sebagai bahan baku. Krisis ekonomi kemudian segera diikuiti oleh krisis politik yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan orde baru yang kemudian melahirkan orde reformasi. Orde reformasi yang membawa fajar pembaharuan menghendaki tatanan kehidupan politik, sosial, ekonomi yang benar-benar demokratis dan berkeadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam sejalan dengan tuntutan global.
Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang ikut mengalami desentralisasi (Otonomi Daerah). Desentralisasi di Papua diharapkan dapat memperpendek jalur komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam hal ini adalah agar masyarakat Papua lebih dekat ke pihak birokrasi sehingga masyarakat lebih cepat mendapat pelayanan dan lebih cepat menyampaikan aspirasinya kepada aparat pemerintah. Selanjutnya dengan adanya desentralisasi maka kemampuan masyarakat Papua dan sumberdaya yang ada di Papua dapat dimobilisasi dengan lebih baik. Dengan cara seperti ini maka program seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, upaya rehabilitasi hutan dan lahan, dan pembangunan pertanian dapat direalisasi lebih cepat dan lebih terarah. Bertumpu pada kemampuan lokal dari masyarakat dan sumberdaya ini maka upaya menolong diri sendiri akan lebih menonjol dalam mengatasi masalah lokal, tidak tergantung kepada bantuan dari pusat dan dari luar. Namun kenyataan yang kemudian muncul dan terjadi adalah berbeda. Pada awalnya menjadi sebuah harapan baru dalam mengembangkan setiap potensi yang ada di Papua. Otonomi daerah ini juga merupakan bentuk dari desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Papua untuk mengelola keuangan maupun beragam sektor lainnya. Terkait dengan hal tersebut dalam Undang-undang nomor  32 tahun 2004 disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Desentralisasi sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya serta bertanggungjawab  kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri agar sumber daya alam ini dapat menjadi “ladang” pekerjaan tetapi juga pendapatan bagi masyarakat asli  daerah tersebut.  Dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA, relasi antara negara dengan masyarakat sipil dalam hal ini masyarakat Papua bermaksud agar kebijakan dan peraturan yang dibuat bersesuaian dengan kepentingan mayoritas masyarakat dan menguatkan peranan kontrol masyarakat atas pelaksanaan pengelolaan SDA. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, partisipasi masyarakat di daerah berfungsi untuk meminimalisasi dampak lingkungan atas penerapan kebijakan otonomi daerah seperti AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) pada setiap kegiatan pembangunan. Selain itu yang juga penting adalah memberdayakan civil society untuk mengatasi masalah lingkungan. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mendemokratisasikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Dengan pentingnya relasi antara negara dan masyarkat Papua dalam mengelola SDA maka seharusnya segala kegiatan yang berkaitan dengan perubahan lingkungan hidup harus dikomunikasikan dengan masyarakat. Ruang partisipasi masyarakat Papua  dibuka agar tuntutan mereka atas hak lingkungan yang sehat dapat terpenuhi. Diluar masalah lingkungan, peran serta masyarakat sangat penting dalam menjaga kearifan tradisional masyarakat Papua.
Namun kenyataan yang terjadi Papua masih memiliki kendala yang besar dalam pengelolaan SDA.  Hal yang berbeda terlihat di Papua ketika SDA yang dikelola secara besar-besaran menjadi tidak berpengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Selain itu juga masyarakat tidak dilibatkan dalam pengawasan AMDAL bahkan limbah akan meresahkan masyarakat dan menjadi masalah bagi masyarakat. Kegagalan pengelolaan SDA disebabkan adanya campur tangan pemerintah pusat dan corporat asing dalam setiap pengelolaan SDA di Papua, padahal melalui desentralisasi otonomi daerah itu menjadi kewenangan daerah. Hal ini semakin ironis melihat kenyataan bawa campur tangan pemerintah tersebut seringkali hanya menguntungkan pihak-phak corporat asing yang menguras habis SDA di Papua. Adapun masyarakat asli Papua sama sekali tidak diberikan peran dalam mengelola SDA selain sebagai buruh kasar. Akibat dari keberpihakan pemerintah pusat terhadap perusahaan-perusahaan asing di Papua maka pengelolaan SDA di Papua sama sekali tidak berpengaruh dalam mendorong pembangunan di Papua, sebaliknya masyarakat Papua menjadi korban dari imperialisme modern akibat dikurasnya SDA di Papua.
Salah satu bentuk penindasan terhadap masyarakat Papua terjadi dalam kasus yang terkait dengan PT Freeport. Di mata orang Papua, tambang raksasa milik perusahaan Amerika ini bukan hanya simbol neo-liberalisme, atau imperialisme Amerika sebagai negara adidaya, tapi juga simbol kolonialisme Indonesia. Atau lebih tepat, simbol persekongkolan antara imperialisme bangsa Amerika dengan beberapa pejabat tinggi di Indonesia. Sebab apa yang masyarakat Papua lihat dan rasakan adalah bahwa penggusuran suku bangsa Amungme dan Mimika dari tanah dan perairan ulayat mereka, dilakukan oleh aparat bersenjata Indonesia, untuk kepentingan mereka yang menjadi pemegang saham PT Freeport Indonesia. Desentralisasi otonomi daerah harusnya mampu menjawab dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dimana masyarakat Papua harus mampu untuk menjadi pelaku utama dalam pengelolaan SDA. Jika melakukan kerja sama dengan pihak asing maka harus ada kejelasan antara pihak terkait dalam hal ini pemerintah daerah, masyarakat adat dan pihak asing. dengan melakukan pertimbangan yang baik dan sesuai dengan UU yang berlaku. Agar setiap permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik dan bukan saja pemerintah yang diuntungkan tetapi terlebih khusus masyarakat Papua itu sendiri.

Penawaran dan Permintaan Terhadap Produk Hasil Hutan - Gaharu



PENAWARAN & PERMINTAAN
TERHADAP PRODUK HASIL HUTAN
“Gaharu”

Peran strategis sektor kehutanan sebagai modal dalam mewujudkan agenda target pembangunan nasional, menuntut konsekuensi pemberdayaan potensi sumber daya hutan dikelola secara arif dan bijaksana. Hal untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat hutan sebagai system penyangga kehidupan, hingga dapat terus memberikan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang optimal bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Semakin tingginya aktivitas produksi hasil hutan kayu dan non kayu pada sisi penawaran akibat stimulus pada sisi permintaan yang meliputi kegiatan sektor-sektor industri pengolah hasil hutan kayu atau hasil hutan non kayu dan kegiatan sejenis lainnya. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan salah satu hasil hutan selain kayu dan jasa lingkungan.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2007. HHBK adalah hasil hutan hayati baik hewani maupun nabati beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. HHBK ini merupakan sumberdaya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersingguan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil Hutan Bukan Kayu adalah barang yang telah dipungut secara rutin sejak manusia mengenal hutan, dan diambil manfaatnya untuk berbagai tujuan, seperti meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat sekitar hutan. Tentunya dengan pemanfaatan yang optimal dan intensif serta terencana dari industry hulu hingga hilir.
Menurut UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan hasil hutan non-kayu adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang harganya lebih tinggi dibandingkan HHBK lainnya (Wiyono dan Sumarkani 1998) adalah Gaharu.  Gaharu memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri. Prospek HHBK dimasa yang akan datang diprediksi akan semakin meningkat. Prospek yang semakin meningkat ini akan memiliki hubungan yang signifikan dengan kondisi ekonomi yang terus berkembang dan berubah seiring berjalannya waktu.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan hukum penawaran dan permintaan terhadap produk hasil hutan dalam hal ini Hasil Hutan Bukan Kayu (Gaharu).
Gaharu merupakan salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) komersial yang bernilai jual tinggi. Indonesia merupakan Negara pengekspor gaharu terbesar di dunia tetapi gaharu yang diekspor sebagian besar merupakan gaharu yang berasal dari alam sedangkan gaharu hasil budidaya belum tercatat secara baik.  Gaharu merupakan kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga Aquilaria. Bentuk produk gaharu yang merupakan hasil alami dari kawasan hutan yang dapat berupa cacahan, gumpalan atau bubuk. Nilai komersial gaharu sangat ditentukan oleh keharuman yang dapat diketahui melalui warna serta aroma kayu bila dibakar, masyarakat mengenal kelas dan kualitas dengan nama gubal, kemedangan dan bubuk. Selain dalam bentuk bahan mentah berupa serpihan kayu, saat ini melalui proses penyulingan dapat diperoleh minyak atsiri gaharu yang juga bernilai jual tinggi. Kata “gaharu” sendiri ada yang mengatakan berasal dari bahasa Melayu yang artinya “harum” ada juga yang bilang berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar, atau resin dengan aroma, keharuman yang khas. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian karena berbau harum. Gaharu merupakan substansi aromatik (aromatic resin) berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tertentu yang sudah dikenal sejak abad ke-7 di wilayah Assam India yang berasal dari jenis Aqularia agaloccha rotb, digunakan terbatas sebagai bahan pengharum dengan melalui cara fumigasi (pembakaran). Gaharu sejak awal era modern telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur.
Namun, saat ini diketahui gaharu pun dapat diperoleh dari jenis tumbuhan lain famili Thymeleaceae, Leguminaceae, dan Euphorbiaceae yang dapat dijumpai di wilayah hutan Cina, daratan Indochina (Myanmar dan Thailand), Malay Peninsula (Malaysia, Bruinai Darussalam, dan Filipina), serta Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, maluku, Mataram dan beberapa daerah lainnya. Tetapi yang memiliki  prospek penjualan yang memiliki harga jual sangat tinggi adalah gaharu dari tanaman famili Themeleaceae dengan jenis Aquilaria spp. yang dalam dunia perdangangan disebut sebagai gaharu beringin. Untuk jenis gaharu dengan nilai jual yang relatif rendah, biasanya disebut sebagai gaharu buaya. Selain ditentukan dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya. Secara umum perdagangan gaharu digolongkan menjadi tiga kelas besar, yaitu gubal, kemedangan, dan abu. Gubal merupakan kayu berwarna hitam atau hitam kecoklatan dan diperoleh dari bagian pohon penghasil gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat. Kemedangan adalah kayu gaharu dengan kandungan damar wangi dan aroma yang lemah serta memiliki penampakan fisik berwarna kecoklatan sampai abu-abu, memiliki serat kasar, dan kayu lunak. Kelas terakhir adalah abu gaharu yang merupakan serbuk kayu hasil pengerokan atau sisa penghancuran kayu gaharu.
Indonesia mulai mengekspor secara langsung kayu gaharu (sejenis damar) ke China setelah sebelumnya melalui negara perantara seperti Taiwan, Singapura dan Hongkong. Ekspor langsung juga akan membuat harga di level petani menjadi lebih tinggi karena tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk pihak ketiga. Di pasar internasional, permintaan gaharu mencapai 4.000 ton per tahun dan China telah menjadi salah satu importir gaharu terbesar sebanyak 500 ton per tahun. Sebagian besar kayu gaharu Indonesia diekspor ke Saudi Arabia, Emirat Arab, Taiwan, Singapura, Hongkong, AS dan Uni Eropa. Namun karena adanya permintaan yang cukup tinggi dari luar negeri terhadap gaharu tersebut terutama dari jenis Aquilaria malacensis, menjadikan tingginya nilai jual terhadap jenis komersial ini.
Dalam lima tahun terakhir total ekspor kayu gaharu Indonesia mencapai 170-573 ton dan menghasilkan devisa sebesar US $26 juta di tahun 2006 dan meningkat menjadi US $86 juta pada tahun 2010. Kayu gaharu yang biasa diekspor berbentuk chips, blok, bubuk dan minyak.
Potensi gaharu di Indonesia diperkirakan mencapai 600.000 ton setahun dengan sentra produksi di Papua, Kalimantan dan Sumatera. Harga gaharu Indonesia berkisar antara Rp 100.000 dan Rp 150.000 per kilogram tergantung kualitasnya.
Kualitas terbaik gaharu di Indonesia berasal dari hutan Kalimantan Timur yang bisa terjual hingga Rp 150 juta per kilogram. Di China jenis kayu tersebut dapat terjual hingga Rp 400 juta per kilogram, sedangkan di kawasan Timur Tengah harganya bisa mencapai Rp 300 juta per kilogram.
Kebutuhan akan ekspor gaharu di Indonesia memang semakin meningkat sampai tahun 2000. Namun, sejak saat itu hingga akhir tahun 2002 produksi gaharu semakin menurun dan rata-rata hanya mencapai sekitar 45 ton/tahun. Hal tersebut diduga disebabkan oleh intensitas pemungutan yang relatif tinggi khususnya dari jenis penghasil gaharu yang mempunyai kualitas dan nilai jual yang tinggi hingga tahun 2000 tanpa diimbangi adanya upaya pelestarian dan pembudidayaan.
Dengan memperhatikan kuota permintaan pasar akan komoditas gaharu yang terus meningkat maka pembudidayaan gaharu pun memiliki prospek yang cukup tinggi dalam upaya untuk mempersiapkan era perdagangan bebas di massa mendatang. Di lihat dari tahun 2000, kuota permintaan pasar sekitar 300 ton/tahun. Namun hingga tahun 2002, yang baru bisa direalisasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar, hanya sekitar 10% - 20% saja atau sekitar  30 ton setiap tahunnya.  Gaharu kualitas super dan double super dihargai mulai dari 5 juta rupiah sampai US $ 10.000 ditingkat internasional  dapat mencapai  $ 10.000  per kg (Sumarna, 2002). Khusus untuk jenis Aquilaria malaccensis yang mempunyai kualitas dan bernilai jual yang tinggi.  
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, semakin tingginya permintaan gaharu di pasaran mengakibatkan sedikitnya penawaran. Harga jual gaharu semakin tinggi tetapi permintaan pun tetap tinggi. Hal ini dikarenakan banyak konsumen yang mencari gaharu sebagai HHBK yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Selain itu terdapat faktor yang mempengaruhi antara lain selera konsumen yang lebih menyukai gaharu sebagai HHBK unggulan dibandingkan dengan HHBK yang lain, terdapat perkiraan harga gaharu di waktu mendatang yang akan semakin naik sehingga dijadikan peluang untuk menyimpan dan memperoleh gaharu di masa sekarang akan memberikan keuntungan dimasa mendatang. Permintaan gaharu meningkat tetapi bahan baku yang tersedia sedikit hal ini dikarenakan adanya kelangkaan bahan baku. Kelangkaan bahan baku inilah yang mengakibatkan meningkatnya harga di pasaran.

 Daftar pustaka

Satria, Benni., Gustian., Darnetti., Kasim.,  Musliar. 2008. Artikel Ilmiah Penelitian Hibah Bersaing  : Kompatibilitas Interaksi Jamur Pathogen dan Stressing Agens dengan Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria spp)  dalam Upaya Peningkatan gubal gaharu. Jurnal Sainstek (akreditasi) Lembaga Penelitian UNP; Diterbitkan.
Purba, Sukendra. 2011. Analisis permintaan dan penawaran hasil hutan kayu di Propinsi Sumatera Utara. UPT Perpustakaan UNIMED.

Senu Blog of Forestry. 2008. Perkembangan Gaharu dan Prospeknya di Indonesia. Blog.(Online), http://forestry senu57.blogspot.com/2008/01/perkembangan-gaharu-dan-prospeknya-di.html. Diakses 20 Maret 2013.
Organisasi.Org. 2009. Pengertian Permintaan dan Penawaran, Hukum dan Faktor yang Mempengaruhi. Perpustakaan Online. (Online), http://organisasi.org/pengertian-permintaan-dan-penawaran-hukum-faktor-yang-mempengaruhi. Diakses 21 Maret 2013.
Djaenudin, Deden. 2012. Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Puspijak.

Peranan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Pembangunan Kehutanan di Papua



 Peranan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dalam Pembangunan Kehutanan di Papua

PENDAHULUAN
Perkembangan dan peningkatan pembangunan tidak terlepas dari tantangan yang harus di hadapi di berbagai sektor. Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam saat memasuki awal abad 21. Tantangan tersebut sebagian besar berasal dari perkembangan global sebagai paradigma baru yang mempengaruhi tatanan ekonomi dan politik internasional. Sebagian lagi berasal dari dalam negeri yang sedikit banyaknya juga timbul akibat pengaruh global. Tantangan dari luar yang merupakan paradigma baru pengelolaan sumberdaya alam adalah adanya kemauan bersama secara internasional untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana telah disepakati pada Pertemuan Puncak Bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992.
Keberlanjutan pembangunan di Indonesia dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh terwujudnya demokratisasi dan keadilan di Indonesia, khusunya di seluruh daerahnya. Dunia Internasional dan Organisasi Internasional mendukung hal ini melalui upaya desentralisasi (Otonomi Daerah). Otonomi daerah sangat diharapkan untuk mempercepat pembangunan dan hasil-hasilnya bagi masyarakat setempat. Bank Dunia melaporkan pada tahun 1999 bahwa lebih kurang 80 % negara-negara sedang berkembang telah melaksanakan desentralisasi dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah Indonesia.
Pelaksanaan desentralisasi yang didambakan dan telah lama ditunggu-tunggu tersebut benar-benar terwujud dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 yang mengatur perimbangan keuangan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kedua UU tersebut telah menyatakan dengan tegas bahwa desentralisasi berada pada level kabupaten. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 dan pasal 10 UU No 22 tahun 1999, daerah mempunyai kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, militer, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Kemudian dilengkapi dengan adanya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kewenangan bidang lain ini antara lain adalah dalam aspek pendayagunaan sumberdaya alam yang tersedia di berbagai wilayah melalui pengelolaan yang bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Tetapi adapula tantangan yang berasal dari dalam negara yang mempengaruhi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yaitu terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan-perusahaan dan industri khususnya yang memanfatkan sumberdaya alam sebagai bahan baku. Krisis ekonomi kemudian segera diikuiti oleh krisis politik yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan orde baru yang kemudian melahirkan orde reformasi. Orde reformasi yang membawa fajar pembaharuan menghendaki tatanan kehidupan politik, sosial, ekonomi yang benar-benar demokratis dan berkeadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam sejalan dengan tuntutan global.
Salah satu sumberdaya alam Indonesia khususnya Papua yang dewasa ini menjadi perbincangan baik secara lokal, maupun Nasional adalah bidang Kehutanan. Sehingga sudah seharusnya kebijakan yang diambil terkait kepengurusan bidang kehutanan ini dilakukan secara bertanggung jawab.


PERANAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI PAPUA
Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang ikut mengalami desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi di Papua diharapkan dapat memperpendek jalur komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam hal ini adalah agar masyarakat Papua lebih dekat ke pihak birokrasi sehingga masyarakat lebih cepat mendapat pelayanan dan lebih cepat menyampaikan aspirasinya kepada aparat pemerintah. Selanjutnya dengan adanya desentralisasi maka kemampuan masyarakat Papua dan sumberdaya yang ada di Papua dalam hal ini pembangunan kehutanan dapat dimobilisasi dengan lebih baik. Selain itu dengan cara seperti ini maka program seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, upaya rehabilitasi hutan dan lahan, dan pembangunan pertanian dapat direalisasi lebih cepat dan lebih terarah. Bertumpu pada kemampuan lokal dari masyarakat dan sumberdaya ini maka upaya menolong diri sendiri akan lebih menonjol dalam mengatasi masalah lokal, tidak tergantung kepada bantuan dari pusat dan dari luar. Namun kenyataan yang kemudian muncul dan terjadi adalah berbeda. Pada awalnya menjadi sebuah harapan baru dalam mengembangkan setiap potensi yang ada di Papua. Otonomi daerah ini juga merupakan bentuk dari desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Papua untuk mengelola keuangan maupun beragam sektor lainnya. Terkait dengan hal tersebut dalam Undang-undang nomor  32 tahun 2004 disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Desentralisasi sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya serta bertanggungjawab  kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri agar sumber daya alam ini dapat menjadi “ladang” pekerjaan tetapi juga pendapatan bagi masyarakat asli  daerah tersebut.  Dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA dalam hal ini kehutanan di Papua, relasi antara negara dengan masyarakat sipil dalam hal ini masyarakat Papua bermaksud agar kebijakan dan peraturan yang dibuat bersesuaian dengan kepentingan mayoritas masyarakat dan menguatkan peranan kontrol masyarakat atas pelaksanaan pengelolaan di bidang kehutanan.
Dalam kaitannya dengan desentralisasi, partisipasi masyarakat di daerah berfungsi untuk meminimalisasi dampak lingkungan atas penerapan kebijakan otonomi daerah seperti AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) pada setiap kegiatan pembangunan kehutanan. Selain itu yang juga penting adalah memberdayakan civil society untuk mengatasi masalah lingkungan. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mendemokratisasikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Dengan pentingnya relasi antara negara dan masyarakat Papua dalam mengelola hutan maka seharusnya segala kegiatan yang berkaitan dengan perubahan lingkungan hidup harus dikomunikasikan dengan masyarakat. Ruang partisipasi masyarakat Papua  dibuka agar tuntutan mereka atas hak lingkungan yang sehat dapat terpenuhi. Diluar masalah lingkungan, peran serta masyarakat sangat penting dalam menjaga kearifan tradisional masyarakat Papua.
Namun kenyataan yang terjadi kebebasan yang tidak terkendali dari pemerintah-pemerintah daerah Papua termasuk dalam pemanfaatan sumberdaya alam berupa hutan yang ada di dalam wilayah administratif Papua. Karena merasa memiliki kewenangan serta didorong oleh keinginan yag besar untuk memperoleh dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) maka pemerintah daerah kemudian berusaha memanfaatkan potensi sumberdaya hutan yang berada di daerahnya masing-masing. Sumberdaya hutan dipilih untuk disajikan di sini karena hutan merupakan sumberdaya yang bersifat strategis.
Pemanfaatan dan pengelolaannya mempengaruhi mutu dan pendayagunaan sumberdaya alam lainnya. Kerusakan hutan memberikan konsekuensi yang luas terhadap sumberdaya air, produktivitas pertanian, dan membawa ancaman terhadap lingkungan hidup yang tidak terbatas pada wilayah administratif dimana hutan tersebut berada. Kasus degradasi hutan dalam era otonomi daerah paling menonjol dan secara luas banyak terjadi di Indonesia termasuk di Provinsi Papua. Selain itu, Papua masih memiliki kendala yang besar dalam pengelolaan kehutanan di Papua. Hal yang berbeda terlihat di Papua ketika hutan yang dikelola secara besar-besaran menjadi tidak berpengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Selain itu juga masyarakat tidak dilibatkan dalam pengawasan AMDAL bahkan limbah akan meresahkan masyarakat dan menjadi masalah bagi masyarakat. Kegagalan pengelolaan SDA disebabkan adanya campur tangan pemerintah pusat dan corporat asing dalam setiap pengelolaan SDA dalam hal ini kehutanan di Papua, padahal melalui peranan desentralisasi dan otonomi daerah itu menjadi kewenangan daerah. Hal ini semakin ironis melihat kenyataan bawa campur tangan pemerintah tersebut seringkali hanya menguntungkan pihak-phak corporat asing yang menguras habis SDA dalam hal ini kehutanan di Papua. Adapun masyarakat asli Papua sama sekali tidak diberikan peran dalam mengelola SDA dalam hal ini bidang kehutanan selain sebagai buruh kasar. Akibat dari keberpihakan pemerintah pusat terhadap perusahaan-perusahaan asing di Papua maka pengelolaan SDA di Papua sama sekali tidak berpengaruh dalam mendorong pembangunan di Papua, sebaliknya masyarakat Papua menjadi korban dari imperialisme modern akibat dikurasnya SDA dalam hal ini kehutanan di Papua.
Salah kenyataan yang terjadi di bidang kehutanan adalah banyaknya areal-areal hutan alam milik masyarakat yang dijadikan sebagai areal IUPHHK di Papua. Dalam aktualisasi pelaksanaannya kewenangan yang tertuang dalam UU otonomi daerah tahun 1999 tersebut terjadi beberapa hal yang bersifat distorsi dan menyimpang dari tujuan pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Hal lainnya yang menjadi penyebab utama kerusakan hutan di Papua adalah dikeluarkannya izin penebangan hutan skala kecil yang mengakibatkan terjadinya pula penebangan tak terkendali yang cenderung merusak. Sampai saat ini walaupun sudah ada larangan, praktek- praktek seperti ini masih berjalan terus (Kompas 11 Desember 2003). Banyak hal yang menjadi penyebab dari masalah ini antara lain adalah perbedaan dalam penafsiran kewenangan pusat dan daerah demikian juga adanya keterbatasan sumberdaya manusia dimana aparat yang memiliki keterampilan teknis dan pengelolaan masih bertumpuk pada kantor-kantor pemerintahan tingkat provinsi. Selain itu kerja sama dengan pihak asing yang membuka areal ini cenderung hanya mencar jenis-jenis kayu yang memiliki nilai komersial tinggi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan alam dan kerusakan yang terjadi. Akibatnya masyarakat hanya akan menjadi penonton di atas tanah sendiri. Selain itu masyarakat sebagai pemilik hak ulayat hanya akan mendapat pembayaran sesuai luasan tanah yang akan di lakukan pembukaan dan pemanenan oleh pihak perusahaan dan hal ini justru akan membuat masyarakat menjadi malas dan hanya mendapat bayaran dan setelah itu habis. sehingga sering muncul permasalahan yang terjadi. Masyarakat hanya akan menjadi peminta-minta di tanah sendiri tanpa diberdayakan secara serius dan menjadi pelaku utama untuk pembangunan kehutanan di tanahnya sendiri.
Desentralisasi dan otonomi daerah harusnya mampu menjawab dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dimana peranan kebijakan ini akan memberikan solusi agar masyarakat Papua mampu untuk menjadi pelaku utama dalam pengelolaan SDA. Jika melakukan kerja sama dengan pihak asing maka harus ada kejelasan antara pihak terkait dalam hal ini pemerintah daerah, masyarakat adat dan pihak asing dengan melakukan pertimbangan yang baik dan sesuai dengan UU yang berlaku. Agar setiap permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik dan bukan saja pemerintah yang diuntungkan tetapi terlebih khusus masyarakat Papua itu sendiri.

  
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas antara lain:
·         Desentralisasi di Papua diharapkan dapat memperpendek jalur komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah agar masyarakat Papua lebih dekat ke pihak birokrasi dan masyarakat lebih cepat mendapat pelayanan dan menyampaikan aspirasinya kepada aparat pemerintah.
·         Pelaksanaan desentralisasi terwujud dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 yang dimana dalam pasal 7 dan pasal 10 UU No 22 tahun 1999, daerah mempunyai kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Melalui UU ini peranan desentralisasi dan otonomi daerah dalam pembangunan Kehutanan akan semakin diperkuat secara hukum.
·         Desentralisasi dan otonomi daerah dapat menjawab dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua serta memberikan solusi agar masyarakat Papua mampu untuk menjadi pelaku utama dalam pengelolaan SDA.

Saran
Perlu dilakukannya pengkajian lebih mendalam terkait Peranan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Pembangunan Kehutanan Di Papua.


DAFTAR PUSTAKA


Baharuddin Nurkin.2005. Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam:Kasus Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan. Jurnal Perennial, 2(1) : 25-30.  Lab. Silvikultur, Jurusan Kehutanan, Universitas Hasanuddin. UNHAS

Che Yeom, F.B. dan C. Chandrasekharam. 2002. Achieving sustainable forest management in Indonesia. Tropical Forest Update (12): 1.

CIFOR dan Jurusan Kehutanan UNHAS. 2003. Laporan Pendahuluan Implementasi Desentralisasi Kebijakan Sektor Kehutanan dan Respon Masyarakat. Studi Kasus di Kabupaten Luwu Utara dan Mamuju, Sulawesi Selatan.

Kompas 11 Desember 2003. Pemegang HPHH dan IPK masih beroperasi.